Monday, April 15, 2013
Terkikis Oleh Rasa Bangga Terhadap Diri Sendiri
Rasa bangga atas keberhasilan, kesuksesan atau prestasi yang dicapai akan selalu melekat pada diri setiap manusia, meskipun ia hidup sendirian di hutan belantara sekalipun. Rasa bangga yang demikian ini masih dianggap manusiawi, tidak dilarang, dan tidak pula berbahaya. Tetapi jika rasa bangga tersebut berlebihan bisa membuat orang lupa diri, sehingga menisbikan peran dan bantuan pihak lain. Rasa bangga seperti inilah yang dinamakan i’jâb bin nafs (bangga terhadap diri sendiri) atau yang lebih dikenal dengan sebutan ujub.
Ajib atau orang yang ujub biasanya bermula dari kesibukan dirinya memperhatikan ‘kelebihan’ yang ada pada dirinya. Mulai dari keturunan orang terhormat (raden, kyai atau pejabat), postur tubuh (wajah cantik atau tampang ganteng), status pegawai negeri, punya jabatan, pinter, kaya, senior, sampai dengan ketekunan ibadahnya pun diperhatikan dan dibanggakannya. Maka ketika perhatiannya tertuju pada semua kelebihan yang dimilikinya itu berkembanglah nafsu lawwamah-nya dan muncullah sifat ta’jub (heran) terhadap dirinya, sehingga merasa dirinya lebih hebat dan istemewa daripada orang lain. Dari sinilah kemudian ia berkeinginan mendapatperlakuan yang istemewa. Kalau tidak, maka ia pun akan berbuat dengan berbagai cara untuk meraih keinginannya itu, antara lain dengan meremehkan, menyerang atau menjatuhkan orang lain. Inilah tanda-tanda ujub yang paling menonjol. Karena itulah bisa dikatakan bahwa orang yang ujub lebih berbahaya daripada orang yang sombong. Sebab, sifat sombong itu hanya dengan dirinya dan tidak sampai meremehkan orang lain, apalagi menyerang atau menjatuhkannya.
Jadi orang yang ujub itu adalah orang yang mempermahal atau menuntut harga yang tinggi untuk dirinya di atas harga yang sesungguhnya. Indikasinya terlihat pada sikap ‘sok’ yang mencerminkan ‘gila hormat’, dan ketika dipuji atau dibombong menjadi mabuk kepayang, lupa daratan. Padahal orang lain tahu bahwa dengan sikap ‘sok’-nya itu menunjukkan jatidirinya bahwa ia sesungguhnya ibarat “tong kosong nyaring bunyinya”. Barangkali sikap demikian inilah yang dimaksud oleh Imam Syafi’i dalam nasehatnya: “Barangsiapa yang menaikkan harga dirinya di atas harga yang sesuai dengannya, maka Allah akan mengembalikannya pada harga yang sesuai”.
Sufyan Ats-Tsauri pun sependapat dengan Imam Syafi’i. Ia mengatakan bahwa “Sifat ujub itu adalah kekagumanmu pada dirimu sendiri, sehingga kamu merasa lebih mulia dan lebih tinggi derajatnya dari saudaramu. Padahal bisa jadi kamu tidak beramal dengan benar seperti dia, atau barangkali ia lebih wara’ darimu terhadap hal-hal yang diharamkan Allah dan lebih tulus amalnya”.
Al Ghazali pun juga menuturkan, bahwa ”perasaan ujub adalah kecintaan seseorang pada suatu karunia dan merasa memilikinya sendiri tanpa mengembalikan karunia itu kepada Allah Swt.”
Secara lahiriyah, memang setiap orang mempunyai keunggulan tertentu yang tidak dimiliki oleh orang lain, tetapi milik siapakah sejatinya segala keunggulan itu? Al Qur’an telah menjawabnya, ”Kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi dan segala yang ada di dalamnya” (Qs. al Mâidah 120). Maksudnya, bahwa kita sesungguhnya tidak bisa apa-apa dan tidak memiliki apapun walau sebesar debu sekalipun. Semuanya adalah milik Allah Swt. yang ’dipinjamkan’ kepada kita agar dimanfaatkan sebagai piranti untuk mengemban tugas sebagai khalifah di muka bumi. Oleh karena itulah tidak termasuk ’ujub, orang yang merasa bahagia atas keunggulan (karunia) yang telah diberikan Allah kepadanya, kemudian ia menjaganya dan menggunakan karunia itu di jalanNya.
Kalau demikian, ujub itu tidak hanya ‘indan nâs tetapi juga ada ujub ‘indallâh. Ujub ‘indan nâs adalah sikap heran terhadap diri sendiri di hadapan orang lain, dengan tujuan agar kehebatan dan keistemewaan dirinya diketahui, diakui dan mendapat apresiasi dari orang lain. Ujub yang demikian ini biasanya membuat orang lupa diri, karena kehilangan kendali diri dan kurang peka terhadap situasi dan kondisi, sehingga bersikap sombong, arogan dan ‘sok’, yang sudah barang tentu sangat membahayakan keselamatan orang lain.
Masihkah kita ingat tentang kisah wanita cantik yang bernama Zulaeha? Dialah istri seorang raja ‘agung binantara’ kerajaan Mesir Kuno, yang dikenal dalam sejarah memiliki seorang anak angkat yang rupawan bernama Yusuf. Dialah orang yang ujub dengan kecantikannya, sehingga merayu Yusuf agar mau berselingkuh dengannya. Namun Yusuf, yang sejatinya adalah putra Nabi Ya’qub itu dengan tegas menolaknya. Zulaeha lalu memaksanya hingga terjadilah adegan tarik menarik yang mengakibatkan bagian belakang baju Yusuf robek. Setelah gagal usahanya itu, Zulaeha pun tidak tinggal diam. Ia pikir dengan kecantikannya itu orang pasti percaya bahwa Yusuf lah yang hendak memperkosa dirinya. Maka fitnah pun disebarkannya, terutama kepada sang Raja, suaminya. Sidang kerajaan pun digelar untuk mengadili Yusuf. Tetapi karena alasan ‘politis’ yang bernama wanita cantik dan ia adalah istrinya sendiri, maka meski tidak ada bukti yang kuat pun Yusuf tetap dijebloskan ke dalam penjara.
Kisah ini menggambarkan betapa dahsyatnya rayuan wanita yang ujub dengan kecantikannya hingga membuat seorang raja lupa diri, menghukum orang yang tak bersalah dan memuji-muji orang yang tidak berprestasi. Padahal sikap yang demikian itu selalu menuntut ‘wadal’, semula hanya membahayakan keselamatan orang lain tetapi akhirnya mesti membawa kehancuran bagi dirinya sendiri. Terbukti dalam kisah Zulaeha tersebut akhirnya justru Yusuf lah yang berkuasa menjadi raja.
Adapun ‘ujub ‘indallah adalah sikap heran terhadap diri sendiri di hadapan Allah. Indikasinya ketika seseorang itu mendapat karunia dari Allah, misalnya berupa jabatan atau harta kekayaan, tidak membuat dirinya lebih baik tetapi justru merasa ta’jub dengan karunia tersebut sehingga melupakan Allah, atau bahkan menentang perintahNya.
Tentang hal ini al Qur’an telah mencontohkan dengan kisah Qarun. Ia adalah orang yang tersukses, seorang miliuner yang dianugerahi harta berlimpah oleh Allah Swt. Namun ia terlena dan lupa daratan. Ia merasa bahwa semua harta kekayaan yang dimilikinya itu semata-mata diperoleh dari hasil kerja kerasnya dan berkat kepintarannya. Ia semula taat kepada Allah tetapi karena sifat ujubnya itu membuat ia mengingkari perintahNya. Toh akhirnya harta yang berlimpah ruah itu ludes dan ia sendiri binasa tertelan bumi (Qs. Az Zumar 49-50). Berbeda dengan sikap nabi Sulaiman ketika didatangkan singgasana Balqis, walaupun kekayaannya melimpah dan semua binantang tunduk di bawah perintahnya tapi dengan penuh tawadhu’ ia berkata, ”Ini termasuk karunia Tuhanku, untuk menguji apakah aku bersyukur atau mengingkari” (Qs. an Naml 40).
Singkatnya bahwa ujub itu adalah penyakit hati yang tertanam melalui sifat kagum pada dirinya hingga membuatnya lupa diri. Padahal ujub adalah pangkal kehancuran dan kehinaan. Ibnu Mas’ud berkata, ”Engkau akan mengalami kehancuran apabila memiliki dua sifat ini, yaitu keputusasaan dan rasa bangga”. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. bersabda, ”Tiga sifat yang dapat menghancurkan seseorang, yaitu kikir yang selalu diikuti, hawa nafsu yang selalu dituruti, dan merasa bangga terhadap dirinya sendiri” (HR. Thabrani).
Kalau demikian, masihkah kita akan memelihara sifat ujub ini. Tentu tidak, sebab orang waras mesti menyadari realitas, dan orang pintar mesti bersikap tawadhu’. Karena ia selalu menyadari bahwa segala keunggulan yang dimilikinya adalah pinjaman dari Allah, dan segala kesuksesan adalah berkat bantuan orang lain dan pertolongan dariNya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment